Inilah Alasan Sebenarnya Perang Jawa Diponegoro Melawan Belanda
Inilah sebenarnya alasan mengapa terjadi perang Diponegoro dengan Belanda. Kalau selama ini kita mendapatkan informasi bahwa perang ini dilatarbelakangi karena adanya penggusuran makam, maka sebenarnya fakta sesungguhnya berbeda. Silakan simak kisahnya berikut.
Kaji Kisah
Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ia tulis sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi untuk agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.1 Pemuda yang bernama Bendoro Raden Mas Ontowiryo sewaktu kecil ini mendapat gemblengan langsung dari neneknya (permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo) sehingga minat belajar Islamnya tinggi.2 Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuan-nya tentang Islam, ia juga secara tekun melaksanakan ketentuan-ketentuan syariah Islam.
Penjajahan Belanda di Nusantara selama 350 tahun tidaklah berlangsung dengan mulus tanpa perlawanan. Bangsa Muslim yang memiliki kehormatan dan harga diri ini tak henti-hentinya melawan. Jihad mempertahankan negeri dari serangan penjajah kafir adalah jalan hidup mereka semenjak dahulu kala. Tapi siapa sangka, ternyata pengaruh khilafah Utsmaniyah sangat besar di dalamnya.
Berbicara tentang Pangeran Diponegoro pasti kita akan membahas ‘Perang Jawa’. Terkait Perang Jawa, menurut Carey (dosen di Trinity College, Inggris), ada faktor kembar yang mendorong Pangeran Diponegoro—seorang adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apapun—mendeklarasikan “perang suci” itu melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta. Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya, “Karemannya mangan minum/lan anjrah cara Welanda & apos (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda).”3
Ini adalah salah satu perlawanan terbesar yang sangat merepotkan Belanda . Perang Jawa (Java Oorlog) berlangsung dalam kurun 1825-1830. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini berlangsung di sebagian Pulau Jawa. Medannya membentang dari Yogyakarta di pantai selatan hingga perbatasan Banyumas di barat dan Magelang di utara. Meski wilayah ini relatif kecil dalam ukuran zaman sekarang, kawasan ini adalah pusat kerajaan Jawa yang mulai digerogoti oleh kekuasaan Belanda.
Perlawanan ini berkobar lama dan berdarah, ratusan ribu korban jatuh, terutama dari pihak Muslim. Belanda sendiri kehilangan ribuan prajurit dan kasnya hampir kosong untuk membiayai perang.
Belanda menghadapi musuh berat yang menentangnya bukan semata sebagai kekuatan penjajah yang merampas hak, namun sebagai kekuatan kafir yang membahayakan akidah Islam.
Oleh karena itu, dalam memimpin “Perang Jawa” Diponegoro senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syariah Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi:
“Surat ini datangnya dari saya, Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat, kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil, tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).4
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasihat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam dalam perjuangan yang dia pimpin. Selain penasihat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum Perang Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro. Karena itu, tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya, Kiai GazaIi, dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Langkah yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi, “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya, datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.”
Seruan ini disebarluaskan di seluruh Tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah, dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat! 5
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo. Ia datang bersama barisan santrinya, menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro. Ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu di bawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. ‘Perang Sabil’ menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh Tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19 saat daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan dukungan kuat dari rakyat. Para penguasa kolonial Belanda terus-menerus berkonfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk mempersatu-kan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Islam; sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum.6
Pangeran Diponegoro, dengan tipudaya licik dari Belanda, akhirnya bisa ditaklukkan dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal di sana. Namun demikian, tampak bahwa Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan mendirikan negara merdeka yang berdasarkan Islam.
Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syariah Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda, serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di Tanah Jawa.7
Struktur Militer Utsmani dalam Laskar Diponegoro
Perlawanan Pangeran Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki. Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah, adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah menunjukkan pengaruh Turki. Bulkiyo adalah adaptasi lidah jawa bagi Bölük, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer khas Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan pasukan Mangkunegaran Surakarta yang menggunakan struktur legiun (mengadopsi sistem Perancis). Juga berbeda dengan kesultanan Yogyakarta yang menggunakan struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Kiriman Senjata
Tak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan mencurigai (Perang Jawa atas perintah Khilafah Utsmaniy di Turki) ada kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya pantai yang menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng kokoh dibangun Belanda menghadap lautan selatan. Sisanya antara lain masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam) karena sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
Tak cukup dengan benteng berbentuk tembok fisik, benteng mitos agaknya juga dibangun oleh Belanda. Termasuk dengan menanamkan mitos tentang keramatnya pantai selatan. Belakangan muncullah mitos tentang Ratu Kidul yang hingga kini masih disembah dengan berbagai ritual oleh keraton maupun penduduk pesisir selatan.
Mitos tentang pantai selatan itu membuat penduduk lokal selalu dibayang-bayangi ketakutan pada kemurkaan Ratu Kidul. Mereka takut dan enggan mengeksplorasi potensinya. Termasuk potensinya sebagai gerbang hubungan internasional dengan dunia luar. Inilah yang diharapkan Belanda, perjuangan Muslim di Nusantara terisolir dari dunia Islam.
Dugaan penciptaan mitos oleh Belanda ini tidak berlebihan. Di antara program yang intens dilakukan oleh Belanda melalui sisi budaya adalah nativikasi. Upaya mengembalikan penduduk Muslim di Nusantara pada kepercayaan dan agama “asli” atau lokal. Program inilah yang mendorong Belanda tak segan mengeluarkan dana besar untuk mengkaji naskah-naskah kuno yang kini kebanyakan tersimpan di Leiden.
Hasil riset itu kemudian diwujudkan dalam tulisan-tulisan dan kitab-kitab yang kerap menjadi pegangan kelompok Kejawen seperti Darmogandhul dan Gathuloco. Isinya mengagungkan kehidupan Jawa pra-Islam, melecehkan syariat Islam dan mempromosikan teologi Kristen secara tersamar. Meski dianggap kitab kuno, penelitian sejarawan Muslim seperti Susiyanto dari Pusat Studi Peradaban Islam menunjukkan bahwa kitab-kitab itu dikarang pada era Belanda dan memuat ajaran teologi Kristen.
SUMBER :
1 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
2 yudhitc.wordpress
3 Ibid.
4 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda), Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
Penjajahan Belanda di Nusantara selama 350 tahun tidaklah berlangsung dengan mulus tanpa perlawanan. Bangsa Muslim yang memiliki kehormatan dan harga diri ini tak henti-hentinya melawan. Jihad mempertahankan negeri dari serangan penjajah kafir adalah jalan hidup mereka semenjak dahulu kala. Tapi siapa sangka, ternyata pengaruh khilafah Utsmaniyah sangat besar di dalamnya.
Berbicara tentang Pangeran Diponegoro pasti kita akan membahas ‘Perang Jawa’. Terkait Perang Jawa, menurut Carey (dosen di Trinity College, Inggris), ada faktor kembar yang mendorong Pangeran Diponegoro—seorang adiwangsa Keraton Yogyakarta yang semula bersikap netral dan tidak menunjukkan ambisi politik apapun—mendeklarasikan “perang suci” itu melawan Belanda, yaitu krisis agraria yang melanda Jawa Tengah tahun 1823- 1825 dan berbagai tindakan yang tak pantas yang ditunjukkan para petinggi Belanda di Yogyakarta. Hal itu antara lain terefleksi dalam sindirannya kepada Residen Yogyakarta HG Baron Nahuys van Burgst dalam babad-nya, “Karemannya mangan minum/lan anjrah cara Welanda & apos (Sukanya makan-minum dan menyebarkan kebiasaan orang Belanda).”3
Ini adalah salah satu perlawanan terbesar yang sangat merepotkan Belanda . Perang Jawa (Java Oorlog) berlangsung dalam kurun 1825-1830. Perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini berlangsung di sebagian Pulau Jawa. Medannya membentang dari Yogyakarta di pantai selatan hingga perbatasan Banyumas di barat dan Magelang di utara. Meski wilayah ini relatif kecil dalam ukuran zaman sekarang, kawasan ini adalah pusat kerajaan Jawa yang mulai digerogoti oleh kekuasaan Belanda.
Perlawanan ini berkobar lama dan berdarah, ratusan ribu korban jatuh, terutama dari pihak Muslim. Belanda sendiri kehilangan ribuan prajurit dan kasnya hampir kosong untuk membiayai perang.
Belanda menghadapi musuh berat yang menentangnya bukan semata sebagai kekuatan penjajah yang merampas hak, namun sebagai kekuatan kafir yang membahayakan akidah Islam.
Oleh karena itu, dalam memimpin “Perang Jawa” Diponegoro senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syariah Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi:
“Surat ini datangnya dari saya, Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro, bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat, kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil, tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan ‘betulkan agama Rasul’. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…” Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).4
Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasihat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam dalam perjuangan yang dia pimpin. Selain penasihat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo. Sebelum Perang Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro. Karena itu, tatkala perang dicetuskan ia bersama anaknya, Kiai GazaIi, dan para santrinya bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Langkah yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi, “Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudara-saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya, datanglah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.”
Seruan ini disebarluaskan di seluruh Tanah Mataram, khususnya di Jawa Tengah, dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat! 5
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo. Ia datang bersama barisan santrinya, menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro. Ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu di bawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. ‘Perang Sabil’ menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh Tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat.
Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kulminasi dengan meletusnya perang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19 saat daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan dukungan kuat dari rakyat. Para penguasa kolonial Belanda terus-menerus berkonfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk mempersatu-kan diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Islam; sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum.6
Pangeran Diponegoro, dengan tipudaya licik dari Belanda, akhirnya bisa ditaklukkan dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga meninggal di sana. Namun demikian, tampak bahwa Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan mendirikan negara merdeka yang berdasarkan Islam.
Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syariah Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda, serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di Tanah Jawa.7
Struktur Militer Utsmani dalam Laskar Diponegoro
Perlawanan Pangeran Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki. Nama berbagai kesatuannya merupakan adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah, adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah menunjukkan pengaruh Turki. Bulkiyo adalah adaptasi lidah jawa bagi Bölük, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer khas Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan pasukan Mangkunegaran Surakarta yang menggunakan struktur legiun (mengadopsi sistem Perancis). Juga berbeda dengan kesultanan Yogyakarta yang menggunakan struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Kiriman Senjata
Tak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan mencurigai (Perang Jawa atas perintah Khilafah Utsmaniy di Turki) ada kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya pantai yang menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng kokoh dibangun Belanda menghadap lautan selatan. Sisanya antara lain masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam) karena sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
Tak cukup dengan benteng berbentuk tembok fisik, benteng mitos agaknya juga dibangun oleh Belanda. Termasuk dengan menanamkan mitos tentang keramatnya pantai selatan. Belakangan muncullah mitos tentang Ratu Kidul yang hingga kini masih disembah dengan berbagai ritual oleh keraton maupun penduduk pesisir selatan.
Mitos tentang pantai selatan itu membuat penduduk lokal selalu dibayang-bayangi ketakutan pada kemurkaan Ratu Kidul. Mereka takut dan enggan mengeksplorasi potensinya. Termasuk potensinya sebagai gerbang hubungan internasional dengan dunia luar. Inilah yang diharapkan Belanda, perjuangan Muslim di Nusantara terisolir dari dunia Islam.
Dugaan penciptaan mitos oleh Belanda ini tidak berlebihan. Di antara program yang intens dilakukan oleh Belanda melalui sisi budaya adalah nativikasi. Upaya mengembalikan penduduk Muslim di Nusantara pada kepercayaan dan agama “asli” atau lokal. Program inilah yang mendorong Belanda tak segan mengeluarkan dana besar untuk mengkaji naskah-naskah kuno yang kini kebanyakan tersimpan di Leiden.
Hasil riset itu kemudian diwujudkan dalam tulisan-tulisan dan kitab-kitab yang kerap menjadi pegangan kelompok Kejawen seperti Darmogandhul dan Gathuloco. Isinya mengagungkan kehidupan Jawa pra-Islam, melecehkan syariat Islam dan mempromosikan teologi Kristen secara tersamar. Meski dianggap kitab kuno, penelitian sejarawan Muslim seperti Susiyanto dari Pusat Studi Peradaban Islam menunjukkan bahwa kitab-kitab itu dikarang pada era Belanda dan memuat ajaran teologi Kristen.
SUMBER :
1 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
2 yudhitc.wordpress
3 Ibid.
4 Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus perang Salib (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda), Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwaroh, Jakarta 1420 H / 1999 M.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid.
Sumber Kisah : http://hizbut-tahrir.or.id/
0 comments:
Post a Comment
Mohon ikut bantu meng-Share Kisah - Kisah ini untuk Memberi Manfaat kepada yang Lain. Terima kasih