Selamat Datang di Kaji Kisah
Tuesday, August 18, 2015

Kisah Letnan Anwar, Pejuang yang harus Mengemis di Akhir Hidupnya

Sumber : Patria 108

"astgfirullah dimana mata hati para pejabat di negeri ini yg seharusnya para pejuang kemerdekaan.di hormati dan diberikan.kedudukan yg terhormat .dan diberikan fasiltas yg baik sbg Abdi negara." Inilah salah-satu komentar netizen ketika selesai membaca sebuah kisah berjudul  Letnan Anwar, Pejuang yang harus Mengemis di Akhir Hidupnya yang diunggah oleh pemilik akun FB Eko Wiharno Assalam

Pada kesempatan ini Kaji Kisah akan mencoba memberikan kisah  Letnan Anwar, Pejuang yang harus Mengemis di Akhir Hidupnya sebagai berikut.

Kaji Kisah

Anwar, Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, dengan pangkat Letnan Satu. 
Pemimpin yang mahir empat bahasa. Dia fasih berbicara bahasa Inggris, Jepang, Belanda dan tentu saja bahasa Indonesia. Akan tetapi, kerasnya hidup menyeret Anwar, ke lumbung kemiskinan. Sang letnan tiarap pada kehidupan.

“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah habis. Jangan dikenang lagi,” tutur Anwar kala itu saat dia masih hidup.

Anwar betul-betul keras. Sulit memintanya bicara banyak. “Saya sedang berusaha. Jangan diganggu. Ini belum makan, lihat itu, belum berisi,” ucap Anwar menunjuk ember biru yang ada di depannya. Ember itu sengaja disediakan, untuk orang melempar uang sebagai wujud dari rasa iba terhadapnya. Seolah, perkataan Anwar sebuah isyarat : Kalau mau bicara, isi ember itu. Hampir setegah jam hirau, Anwar akhirnya menyerah. Dia mau bicara. Tentang hidupnya. “Tapi jangan diputarbalik apa yang saya katakan,” ucap Anwar yang pernah juga bekerja sebagai kelasi kapal berbendera Jerman Barat.

Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Dia terlahir dari keluarga petani, 94 tahun lalu. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran Kota Padang itu. Anwar adalah jebolah Sekolah Sembilan (kini Belakang Tangsi-red) tahun 1930. Lepas Sekolah Rakyat, Anwar mulai bekerja serabutan. Akhirnya dia diterima sebagai kelasi kapal. Tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat pak tua. “Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa untuk ikut berjuang,” terang Anwar.

Anwar muda sudah terbiasa berperang. Dia hidup untuk berpetualang. Melintasi medan. Bergerilya. Menunggu saat yang tepat menyerang tentara Belanda. “Saya bekas tentara Sumatera Selatan. Komandan Kompi 3. Tak terkira derita. Masa pergerakan benar-benar sulit. Desing peluru, bau mesiu, mayat dan simbahan darah hal biasa. Pelepas penat dan kebanggaan kala itu, sewaktu pulang ke barak, kita membawa topi serdadu, atau barang rampasan perang lainnya,” ulas Anwar.

Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. Karena tembakan itu, kini dia berjalan pincang. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (Simpang Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian Linggarjati baru saja disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Anwar.

Bukan cuma ditembak. Anwar pernah merasai pengap hidup di balik jeruji besi. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu, tahun 1946 sedang bergejolak. Kala melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih sakit. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.

Di Panjangpanjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai dipaksa minum air kencing. Namun sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak berhenti. “Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang dicampur kencing,” celoteh Anwar.

Jangan pertanyakan nsionalisme pada Anwar. Kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya tentara Belanda. Apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya kedudukan dan jabatan semata? Saya jawab apa adanya? Berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak mati di sini. Saya bangga, karena itu demi negara,” ucap Anwar.

Anwar berjuang terus. Sampai dia sendiri lupa akan keluarganya. Anwar pernah menikah dengan seorang wanita Belakang Olo. Tapi hanya sebentar Anwar mengecap indah rumah tangga. Istrinya mati karena kolera dan kekurangan asupan gizi, ikut juga tiada anak yang dikandungnya. Anwar baru tahu istrinya tiada empat bulan kemudian, tepatnya saat dia pulang bergerilya.

Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Anwar. Tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemis jadi pilihan terakhirnya.

Tak ada tanda jasa. Tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar. Bahkan gelar pahlawan veteran pun tak singgah. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua,” jawab Anwar. Dia segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.

Memang, dulu Anwar pernah diberi sertifikat veteran. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat sakti” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai veteran. “Kalau tak salah Surat Bintang Gerilya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah,” kata Anwar.

Letnan Anwar. Sang pahlawan kini telah tiada di masa pembangunan. Di tak menerima apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun tidak. Anwar terlupakan. Bangsa ini benar-benar sudah berdosa padanya.

Pelajaran Bagi Kita

Mungkin masih banyak orang-orang yang sangat berjasa bagi negeri ini yang terlupakan, sehingga mereka sangat menderita. Entah mereka yang berjuang lewat senjata untuk mengusir penjajah tempo dulu, atau mereka yang mengharumkan negeri ini dengan berbagai prestasi dan lain sebagainya. Sadarlah bahwa mereka patut untuk diperhatikan, ini adalah tanggung-jawab negara untuk mengurus mereka. Jangan menutup mata jika melihat mereka, seyogyanya kita melaporkan mereka kepada pihak terkait agar mendapat perlakuan yang baik dari negara. Bisa jadi mereka tidak butuh balas budi dari negeri yang telah di belanya, tetapi kita tentunya yang harus sadar diri terhadap mereka.

0 comments:

Post a Comment

Mohon ikut bantu meng-Share Kisah - Kisah ini untuk Memberi Manfaat kepada yang Lain. Terima kasih

Copyright © 2012 Kaji Kisah All Right Reserved
Designed by Odd Themes
Back To Top