Sebuah Renungan Khawatir Jika Ibadah Tidak Diterima Allah
Inilah sebuah tulisan dari ustadz K.H. Siddiq Al-Jawi untuk renungan bagi kita semua tentang bagaimana kekhawatiran kita terhadap ibadah yang kita lakukan jika tidak diteima oleh Allah SWT. Ikuti tulisannya berikut.
Kaji Kisah
Perasaan khawatir atau takut tersebut sebenarnya hal yang baik bagi seorang muslim, bukan hal yang buruk, selama dia dapat meletakkan rasa takutnya itu secara proporsional, yaitu dapat meletakkan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`) secara seimbang (tawazun, i’tidal).
Jika dalam hati seorang muslim hanya rasa takut yang dominan, sementara rasa harap sangat tipis, akan melahirkan sikap putus asa dari rahmat Allah SWT yang tercela. Sebaliknya jika rasa takut sangat tipis, sedangkan rasa harap sangat besar, akan melahirkan sikap berani berbuat maksiat atau tidak takut berbuat dosa. Tentu ini juga tercela.
Keseimbangan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`) tersebut ditunjukkan oleh firman Allah SWT mengenai para nabi dan para wali-Nya :
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS Al Anbiyaa` [21] : 90).
Juga firman Allah SWT :
”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” (QS As Sajdah [32] : 16).
Pada dua ayat ini terdapat petunjuk, bahwa seorang muslim dalam ibadahnya hendaknya menggabungkan dua perasaan sekaligus, yaitu rasa takut (khauf) dan dan rasa harap (raja`) secara bersamaan. (Al Jauharah Al Tharifi, Al Manhaj Ad Da’awi fi Al Kauf wa Ar Raja`, hlm. 43).
Bagaimana cara menghadirkan dua perasaan tersebut secara bersamaan dalam hati seorang muslim? Para ulama menerangkan, jika seorang muslim melakukan suatu amal saleh, hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya dua perasaan sbb;
Pertama, perasaan bahwa Allah SWT adalah Rabb yang Maha Agung yang mempunyai hak untuk diibadahi oleh para hamba-Nya secara benar, yang berhak mengazab para hamba-Nya. Seraya mengingat bahwa amalnya masih sedikit, sementara dosa-dosanya masih banyak, atau mengingat bahwa dia belum beribadah secara benar, atau mungkin niat ibadahnya tidak ikhlas dan tidak lurus. Perasaan ini akan melahirkan rasa takut (khauf), bahwa bisa jadi Allah SWT tidak menerima amal-amal ibadahnya.
Kedua, perasaan bahwa Allah SWT adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang dengan rahmat-Nya yang sangat luas. Perasaan ini akan melahirkan rasa harap (raja`), sehingga seorang muslim akan selalu berharap bahwa Allah akan menerima amal-amalnya, memberi pahala kepadanya, dan mengampuni segala dosa dan kesalahannya. (Syekh Ahmad Al Fuda’i, “Ladayya Wiswaas Tsaqiilah min An Laa Yataqabbalallahu ‘Amaly”, http://consult.islamweb.net/).
Terkait dengan rasa takut itu, yang betul-betul harus diperhatikan adalah kita mesti mengendalikan rasa takut ke arah yang benar, yaitu mendorong perbaikan amal, bukan ke arah yang tidak benar, yaitu membuat putus asa dari rahmat Allah. Sebab putus asa dari rahmat Allah adalah sangat tercela, sebagaimana firman Allah SWT :
”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).
Perlu ditambahkan, sesungguhnya kita sebagai manusia tidak dapat mengetahui apakah amal ibadah kita diterima atau tidak oleh Allah SWT. Itu adalah perkara ghaib yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah SWT. Namun demikian, hendaknya kita selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) bahwa Allah akan menerima amal ibadah kita, tentunya setelah kita memenuhi segala syarat dan rukun syar’i dari suatu ibadah. Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi :
”Aku [Allah] mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (ana ‘inda zhanni ‘abdiy biy). (HR Bukhari no 6970; Muslim no 2675).
Kesimpulannya, cara mengatasi rasa khawatir itu adalah dengan menyeimbangkan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`), seraya selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) kepada Allah SWT. Wallahu a’lam. [Ustadz M. Shiddiq Al Jawi dari Visimuslim]
Jika dalam hati seorang muslim hanya rasa takut yang dominan, sementara rasa harap sangat tipis, akan melahirkan sikap putus asa dari rahmat Allah SWT yang tercela. Sebaliknya jika rasa takut sangat tipis, sedangkan rasa harap sangat besar, akan melahirkan sikap berani berbuat maksiat atau tidak takut berbuat dosa. Tentu ini juga tercela.
Keseimbangan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`) tersebut ditunjukkan oleh firman Allah SWT mengenai para nabi dan para wali-Nya :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS Al Anbiyaa` [21] : 90).
Juga firman Allah SWT :
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً
”Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap.” (QS As Sajdah [32] : 16).
Pada dua ayat ini terdapat petunjuk, bahwa seorang muslim dalam ibadahnya hendaknya menggabungkan dua perasaan sekaligus, yaitu rasa takut (khauf) dan dan rasa harap (raja`) secara bersamaan. (Al Jauharah Al Tharifi, Al Manhaj Ad Da’awi fi Al Kauf wa Ar Raja`, hlm. 43).
Bagaimana cara menghadirkan dua perasaan tersebut secara bersamaan dalam hati seorang muslim? Para ulama menerangkan, jika seorang muslim melakukan suatu amal saleh, hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya dua perasaan sbb;
Pertama, perasaan bahwa Allah SWT adalah Rabb yang Maha Agung yang mempunyai hak untuk diibadahi oleh para hamba-Nya secara benar, yang berhak mengazab para hamba-Nya. Seraya mengingat bahwa amalnya masih sedikit, sementara dosa-dosanya masih banyak, atau mengingat bahwa dia belum beribadah secara benar, atau mungkin niat ibadahnya tidak ikhlas dan tidak lurus. Perasaan ini akan melahirkan rasa takut (khauf), bahwa bisa jadi Allah SWT tidak menerima amal-amal ibadahnya.
Kedua, perasaan bahwa Allah SWT adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang dengan rahmat-Nya yang sangat luas. Perasaan ini akan melahirkan rasa harap (raja`), sehingga seorang muslim akan selalu berharap bahwa Allah akan menerima amal-amalnya, memberi pahala kepadanya, dan mengampuni segala dosa dan kesalahannya. (Syekh Ahmad Al Fuda’i, “Ladayya Wiswaas Tsaqiilah min An Laa Yataqabbalallahu ‘Amaly”, http://consult.islamweb.net/).
Terkait dengan rasa takut itu, yang betul-betul harus diperhatikan adalah kita mesti mengendalikan rasa takut ke arah yang benar, yaitu mendorong perbaikan amal, bukan ke arah yang tidak benar, yaitu membuat putus asa dari rahmat Allah. Sebab putus asa dari rahmat Allah adalah sangat tercela, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلا تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الكَافِرُونَ
”Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).
Perlu ditambahkan, sesungguhnya kita sebagai manusia tidak dapat mengetahui apakah amal ibadah kita diterima atau tidak oleh Allah SWT. Itu adalah perkara ghaib yang tidak diketahui, kecuali oleh Allah SWT. Namun demikian, hendaknya kita selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) bahwa Allah akan menerima amal ibadah kita, tentunya setelah kita memenuhi segala syarat dan rukun syar’i dari suatu ibadah. Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi :
أنا عند ظن عبدي بي
”Aku [Allah] mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (ana ‘inda zhanni ‘abdiy biy). (HR Bukhari no 6970; Muslim no 2675).
Kesimpulannya, cara mengatasi rasa khawatir itu adalah dengan menyeimbangkan rasa takut (al khauf) dan rasa harap (ar raja`), seraya selalu berprasangka baik (husnuzh zhann) kepada Allah SWT. Wallahu a’lam. [Ustadz M. Shiddiq Al Jawi dari Visimuslim]
0 comments:
Post a Comment
Mohon ikut bantu meng-Share Kisah - Kisah ini untuk Memberi Manfaat kepada yang Lain. Terima kasih